Home » » Tantangan Melacak Keberadaan Kotak Hitam AirAsia QZ8501

Tantangan Melacak Keberadaan Kotak Hitam AirAsia QZ8501

KOMPAS.com - Penemuan jasad penumpang AirAsia QZ 8501 di beberapa lokasi di perairan Selat Karimata dan Laut Jawa merupakan indikasi berarti untuk menemukan badan pesawat, terutama bagian ekor tempat kotak hitam terpasang. Kotak hitam merupakan target pencarian penting untuk mengungkap penyebab musibah jatuhnya pesawat jenis Airbus A320 seri 200 itu.

Pencarian badan pesawat dan kotak hitam, bukan hanya oleh Kapal Riset Baruna Jaya I milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), melainkan juga tim dari Singapura, menggunakan sistem detektor sinyal dari kotak hitam yang disebut underwater beacon detector.

Kapal riset BJ I, menurut Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam BPPT Ridwan Djamaluddin, mencari badan pesawat dengan multi-beam echo sounder dan side scene sonar. Kapal riset itu juga memiliki sistem detektor yang dimiliki tim Singapura.

Sinyal akustik dengan frekuensi tertentu akan terpancar dari kotak hitam. Untuk tiap kelas pesawat, ditetapkan rentang frekuensi sinyal berbeda. Pesawat besar sekelas Boeing dan Airbus memiliki rentang 10-20 kilohertz. Suara yang dipancarkan terputus-putus berselang beberapa detik. �Dengan detektor yang dilengkapi hidrofon sinyal dari kotak hitam akan terdengar bunyi ping... ping... ping..,� ujar Dwi Susanto, profesor riset dari Universitas Maryland, AS. Pakar ilmu kelautan dan atmosfer ini sebelumnya peneliti di BPPT.

Pada pencarian kotak hitam, kata Dwi, kemungkinan akan terkendala gangguan sinyal lain, mengingat banyak kapal beroperasi di Selat Karimata dan Pulau Jawa untuk mencari korban dan puing pesawat.

Pencarian pesawat AirAsia QZ 8501 ini juga melibatkan tim SAR dari Malaysia, Korea Selatan, Australia, dan Amerika Serikat. Total ada 30 kapal dan 21 pesawat yang dikerahkan.

Teknologi AS

Sementara itu, sistem pelacak kotak hitam milik AS adalah Towed Pinger Locator (TPL), yang antara lain TPL-25 yang digunakan dalam pencarian MH370. Sistem ini ditambatkan pada bagian belakang kapal dan ditarik sepanjang jalur yang ditentukan. Bersamaan dengan itu, digantungkan hidrofon yang dapat dijulurkan hingga 6.000 meter di bawah permukaan laut.

Kapal akan bolak-balik di area yang ditetapkan dengan kecepatan 5,6 km per jam. Dalam sehari, daerah yang terlacak 388,5 km persegi. Pada jarak 1,6 km dari kapal, sinyal dari kotak hitam dapat tertangkap.

Angkatan Laut AS telah menggunakan TPL-25 sekitar 20 tahun terakhir untuk menemukan kotak hitam dari pesawat komersial ataupun militer. Kotak hitam yang berhasil ditemukan antara lain dari pesawat TWA 800 yang meledak dan tenggelam di Samudra Atlantik pada 17 Juli 1996 hingga menewaskan 230 orang.

Keberhasilan penemuan kotak hitam juga ditentukan oleh ketahanan baterai yang membuat unit pemancar sinyal akustik dalam kotak itu tetap aktif. Umumnya, baterai kotak hitam dapat bekerja hingga 30 hari.

Selain teknologi barat, Tiongkok pun mulai merintis pembuatan alat pelacak kotak hitam. Tiongkok memiliki kapal, antara lain, Haixun-01 yang dilengkapi sistem akustik atau sonar. Kemampuan deteksinya hingga kedalaman 5.000 meter. Alat survei maritim itu dioperasikan Donghai Navigation Safety Administration di bawah Kementerian Perhubungan Tiongkok.

Lewat teknologi maju itu dapat ditangkap sinyal �ping� dari kotak hitam. Data sinyal ini lalu dianalisis untuk memverifikasi konsistensi sinyal itu dengan dua sub-unit di dalam kotak hitam, yaitu flight data recorder dan cockpit voice recorder.

Robot detektor

Keterlibatan beberapa negara itu mengulang peristiwa pencarian MH370 pada Maret hingga April 2014 di Selat Malaka dan Samudra Hindia.

Selain sistem detektor yang terpasang di kapal, digunakan pula wahana bawah laut yang beroperasi otomatis atau autonomous underwater vehicles (AUV). Robot ini di antaranya dimiliki Singapura, Australia, dan AS. Wahana buatan AS yang dinamai Bluefin-21 mampu beroperasi di laut dalam. Pada pencarian MH370 beberapa bulan lalu, AUV ini dibawa kapal AL Australia Ocean Shield.

Wahana ini memainkan peranan penting dalam mencari lokasi hilangnya pesawat jet milik Air France tahun 2011. Penemuan ini dua tahun berselang setelah kecelakaan di Samudra Atlantik. Dengan AUV yang dilengkapi sistem sonar pemindai atau side-scan sonar turut membantu menemukan pesawat itu di kedalaman 3.900 meter.

AUV atau drone dibuat para insinyur di Bluefin Robotics di galangan kapal Quincy Massachusetts AS. Drone ini mampu menjelajah lautan untuk memetakan dasar laut yang menjadi bagian riset oseanografi, eksplorasi migas, dan mendukung tujuan pertahanan AS.

Bluefin-21 telah dikerahkan untuk mencari MH370. Wahana ini panjangnya 7,5 m dan berdiameter 0,5 m, menyerupai perahu berlambung datar. Bluefin digerakkan sebuah baling-baling di bagian ekor yang mengerucut.

Pada alat ini terdapat beberapa komponen dan sistem komunikasi, sistem kendali, dan kompartemen penyimpan data. Muatan ini tahan terhadap tekanan ekstrem di laut dalam. Di dalamnya terdapat sistem pengindera menggunakan kamera optik dan sonar pemindai.

Pada pencarian tubuh pesawat berikut kotak hitam, wahana seperti Bluefin-21 tidak akan dilibatkan. Lebih banyak digunakan teknologi sonar untuk memindai kondisi bawah air dalam perairan berkedalaman 30-35 meter.

Puluhan penyelam militer sudah bersiap sejak dua hari lalu. Namun, kesiapan mereka dan kapal pencari masih terkendala cuaca buruk dengan gelombang lebih dari 3 m yang jelas tidak aman bagi penyelaman dan pergerakan kapal pencari.

Selain itu, kondisi perairan berpotensi keruh yang disebabkan lantai perairan yang didominasi lumpur dan pasir halus, sebagaimana dilaporkan BPPT. Itu jelas mengganggu penglihatan.

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Arsip Blog