Home » » Teknologi SAR, Melacak Jejak AirAsia QZ8501 di Dasar Laut

Teknologi SAR, Melacak Jejak AirAsia QZ8501 di Dasar Laut

KOMPAS.com � Operasi SAR jatuhnya pesawat AirAsia QZ 8501 memasuki hari kesembilan, tetapi upaya pencarian korban masih terkendala cuaca. Bukan hanya jalan untuk menemukan keberadaan para penumpang yang sebagian besar belum ditemukan, menemukan potongan besar pesawat, termasuk kotak hitam, juga masih menjadi tantangan berat.

Perairan Laut Jawa, dekat Selat Karimata, lokasi serpihan pesawat dan sebagian jenazah ditemukan, sebenarnya tergolong tak terlalu dalam, berkisar 30-40 meter. Namun, kondisi dasar laut yang berupa material lempung, lumpur, dan pasir halus menambah persoalan pencarian. Cuaca buruk dengan arus kencang membuat kondisi air keruh.

Tak heran jika puluhan penyelam dengan kualifikasi tempur sekalipun tak mampu beraksi, kecuali menunggu badai reda. Begitu pula alat-alat canggih buatan manusia yang kesulitan dioperasikan, baik menurunkannya ke perairan maupun tantangan bertahan dari arus kencang dan gelombang tinggi.

Hingga kini, setidaknya ada empat alat yang banyak disebut-sebut dibawa sejumlah kapal dengan kategori canggih, setidaknya pada era sekarang ini.

Alat pertama yang diandalkan adalah multibeam echosounder. Alat itu akan mendeteksi kedalaman laut berdasarkan gelombang suara. Sinyal balik gelombang suara akan dianalisis untuk memastikan kedalaman laut. Kontur umum Laut Jawa adalah datar karena itu disebut dataran Sunda.

Jika multibeam echosounder mendeteksi gundukan atau sesuatu yang lebih menonjol dibandingkan sekitarnya, gundukan itu akan dideteksi sebagai titik dengan kedalaman lebih rendah. Selanjutnya, tempat-tempat yang dicurigai sebagai gundukan itu akan disisir ulang.

Alat kedua yang digunakan adalah magnetometer. Alat ini mendeteksi benda-benda logam. Oleh karena yang dicari adalah bangkai pesawat, termasuk posisi kotak hitam, alat ini diandalkan untuk mendeteksi benda-benda logam itu.

Jika citra menonjol tersebut dipastikan logam, diturunkan alat lain bernama side scan sonar. Alat ini untuk mendeteksi gambar dua dimensi tersebut. Hasilnya mirip fotokopi hitam putih atau ultrasonografi (USG) pada pemeriksaan kehamilan.

Jika pemindaian sonar meyakini bahwa benda menonjol di dalam laut bangkai pesawat, langkah terakhir adalah menurunkan wahana khusus dengan kamera bawah laut, yakni remote operated vehicle (ROV). "Melalui kamera itu, dapat benar-benar dipastikan bahwa benda menonjol, logam, mirip bangkai pesawat itu sejatinya apa," kata Ketua Tim Pencarian Pesawat AirAsia QZ8501 Balai Teknologi Survei Kelautan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rahadian, Sabtu (3/1/2014), di Kapal Riset Baruna Jaya 1, yang menyisir perairan lokasi bencana.

Kapal Baruna Jaya 1 memang dilengkapi keempat alat tersebut. Begitu pula sejumlah kapal lain, baik KRI milik TNI Angkatan Laut seperti KRI Bung Tomo, kapal geosurvei milik Asosiasi Kontraktor Survey Indonesia, maupun kapal asing yang membantu operasi SAR.

Di luar operasi kedaruratan atau SAR itu, ROV juga digunakan untuk eksplorasi atau pemasangan pipa minyak dan gas serta konstruksi lain di lepas pantai. Alat sebesar generator set itu punya kamera kecil untuk memotret. Pada jenis lain, robot dilengkapi lengan mekanik untuk mengambil sampel atau obyek.

Di dunia, alat lain yang digunakan untuk mencari pesawat hilang, di antaranya Malaysia Airlines MH 370, adalah jenis autonomous underwater vehicle (AUV), Bluefin-21. Wahana itu memiliki panjang 7,5 meter dan diameter 0,5 meter menyerupai ponton atau perahu berlambung datar. Bluefin digerakkan baling-baling pada bagian ekor yang mengerucut.

Pada tubuh Bluefin terdapat beberapa komponen dan sistem komunikasi, sistem kendali, dan kompartemen penyimpan data. Muatan itu tahan terhadap tekanan ekstrem di laut dalam. Alat itu akan melayang-layang di kedalaman 50 meter untuk memindai dasar laut.

Faktor alam

Alat-alat canggih pelacak jejak logam memang berada di sejumlah kapal. Namun, sejauh ini masih belum maksimal dikerahkan karena faktor cuaca.

Setiap hari perkiraan cuaca BMKG menunjukkan cuaca yang tak baik sepanjang hari. Itulah yang terjadi selama ini. Beberapa kali pula Kepala Basarnas Marsekal Madya FHB Soelistyo menyatakan bahwa kesiapan semua unsur SAR bergantung pada kondisi cuaca.

Upaya SAR di tengah cuaca buruk pernah dilakukan di antaranya saat helikopter mengambil kantong jenazah di KRI Yos Sudarso. Demi menghindari dampak buruk pada tim SAR, akhirnya hanya satu jenazah yang bisa diambil. �Helikopter tidak bisa mendarat di kapal,� kata Soelistyo (Kompas, 2/1/2015).

Sebelumnya, sejumlah kapal, termasuk Baruna Jaya 1, terpaksa menghentikan pencarian untuk berlindung dari terpaan angin kencang dan gelombang setinggi 5 meter. Mereka bergerak ke kawasan teluk yang lebih tenang.

Berdasarkan laporan penyelam yang sempat turun ke laut, Minggu kemarin, bahwa jarak pandang di dalam laut maksimal hanya 2 meter! "Jarak pandang bawah laut juga berkurang oleh tutupan klorofil yang tergolong subur hingga 1 miligram per meter kubik akibat tingginya limpasan material atau zat hara dari pesisir," kata Kepala Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT Nani Hendiarti.

Kapal khusus

Kondisi lingkungan perairan Selat Karimata yang dinamis riskan jika dilakukan penyelaman ke lokasi badan pesawat AirAsia. �Proses evakuasi juga memerlukan kapal khusus yang dilengkapi sistem kendali kestabilan kapal atau dynamic positioning system (DPS),� kata Dwi Susanto, profesor bidang riset bidang ilmu kelautan dan atmosfer dari Universitas Maryland Washington DC, Amerika Serikat.

Hal itu berdasarkan pengalaman ekspedisi pemasangan alat ukur arus laut trawl resistant bottom mounted (TRBM) yang menggunakan sistem akustik (acoustic doppler current profilers). Ekspedisi di Selat Karimata pada 19-26 Desember 2014 itu dilakukan tim Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Puslitbang Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Proses pencarian memerlukan kapal dengan sistem kendali berupa baling-baling di empat sisi lambung, yaitu kiri-kanan dan depan-belakang. Kapal yang dilengkapi DPS umumnya digunakan pada pengeboran minyak lepas pantai untuk menjaga posisi kapal tetap di atas pipa.

Kapal jenis itu antara lain dimiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dinamai Bawal Putih III. Kapal dengan panjang 42 meter itu sandar di Pelabuhan Muara Baru. (YUNI IKAWATI/M ZAID WAHYUDI)

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Arsip Blog